Kamis, 27 Januari 2022

Bukan Negeri Orang Dalam

Bukan Negeri Orang Dalam
(Sebuah impian kecil)


Kemajuan ekonomi suatu bangsa dapat berkesinambungan apabila didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki prakarsa dan daya kreasi untuk kemajuan diri termasuk hak-hak politiknya. Prakarsa itu hanya akan tumbuh apabila ada kesempatan yang sama dan berkeadilan kepada setiap warga negara dalam proses pembangunan.

Saat ini, Negara-negara di dunia semakin kompetitif dalam persaingan global seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan tekologi. Oleh sebab itu, masyarakat kita harus cerdas, cermat, dan punya semangat yang sama untuk menerima setiap perubahan yang ada. 

Di negara maju, sistem meritokrasi telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Contoh modern dari meritokrasi dapat dilihat di Singapura. Negara tetangga Indonesia tersebut telah membentuk pemerintahan dan administrasi di berbagai sektor dengan menempatkan para pemimpin berdasarkan prestasi atau kemampuan mereka.

Sedangkan di Jepang, meritokrasi telah ada sejak restorasi Meiji. Meritokrasi di Jepang dapat dilihat ketika pemimpin negeri matahari terbit tersebut memberikan beasiswa ke luar negeri bagi siswa yang berprestasi.

Jauh sebelum masyarakat modern menerapkan meritokrasi, Dinasti Utsmani telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas negara yang terdiri atas berbagai etnik dan latar belakang budaya. Pada masa itu, bukan suatu hal yang mengherankan jika melihat anak Balkan menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa.

Istilah orang dalam (nepotisme), harus berani kita lawan demi tercipta nya suatu pemerintahan yang bersih, stabilitas politik dan keamanan juga perlu diperhatikan agar terciptanya masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan terwujudnya sila ke lima " keadilan sosial bagi seluruh rakyat  indonesia". 

Tentu tidak mudah untuk sampai ke sana, tapi penulis yakin bahwa terwudnya hal-hal besar dimulai dengan satu langkah kecil. Sebelum menegur orang lain, terlebih dahulu mengoreksi diri sendiri. apalagi kalau  kita berbicara soal bangsa, masa depan Negara, perlu kesabaran, solidaritas dan rasa optimis yang tinggi demi terwudnya cita-cita bangsa sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bngsa.

Oleh 

Ismail Weripang

Rabu, 12 Januari 2022

Perahu kajang Tua


Perahu kajang tua

Cerita perahu kajang tua masih membekas dihati dan akal.  Bagaimana para penakluk laut dan gunung dari negeri baham pernah ada di muka bumi.  

Teluk berau,  punya cerita sendiri tentang leluhur anak baham. Cerita turun-temurun ini bukan fiksi belaka,  melainkan realita yang pernah dirasakan oleh Tete (kakek),  hingga Bapak saat ini.  

Suatu malam yang gelap gulita,  gemerlap cahaya bintang menerangi langit malam.  Perahu kajang itu menuju arah sorong selatan untuk sekedar menukar sagu dengan sayur.  

"Arah kemudimu salah,  putar kiri sedikit,  lihat bintang yang paling terang itu,  muka perahu harus tepat pada bintang itu" ujar seorang pria paruh baya untuk kedua anaknya Yoko dan Dahlan.  

"Bagaimana mungkin bapak bisa tahu?  Sedangkan bapak sedang tidur dalam perahu" pikir Yoko dalam hati ketika memegang kemudi dibelakang perahu.  

Dahlan dengan dua dayung terus mendayung dengan punggung menghadap ke muka perahu. Ketiga anak bapak ini terus berlayar sesuai arah bintang yang sudah diarahkan oleh sang ayah.  

Lautan lepas,  gelap gulita,  bagimana anda bisa mengetahui arah?  Ya,  bintang adalah kompas alami.  Sang penakluk laut dizaman itu memang benar-benar hebat.  

Ketika tak ada angin,  Tete berdiri lalu memanggil angin untuk berlayar memakai layar. "suara memanggil angin itu sedih, dan itu benar-benar terjadi" ujar bapak.  

Sayang seribu sayang,  diantara keluarga bapak belum ada yang tau,  atukah mungkin saya yang belum mencari tahu, entahlah. Bapak bilang dia lupa bagaimana cara memanggil angin itu.

  Suara merdu nan sedih itu hilang ditelan zaman.  "suara memanggil angin itu benar-benar sedih" bapak menambahkan kalimatnya sambil menunduk menggulung pandoko.  

Kami, anak cucu punya rasa penasaran yang sangat tinggi tentang bagaimana keperkasaan para leluhur menakluk laut dan gunung.  Karena bagaimanapun juga kami hidup dari laut dan gunung.  

Kami dilahirkan untuk menjaga negeri ini, kami anak cucu besar dari lingkungan yang memang diwajibkan untuk bertahan hidup dari alam. Dan alam memberikan segalanya untuk kami. 

Pada akhirnya, Sebuah peristiwa mengungkap sejarah bahwa yang berusaha dieliminasi adalah orang-orang yang kuat. Terkadang Semesta banyak menyimpan misteri. Kita diharuskan untuk selalu mencari tahu apa dan siapa diri kita.  

Pesan Moral
"Kata "menyerah" tidak ada dalam kamus hidup para leluhur baham saat itu. Tekad dan keyakinan yang kuat membuat mereka optimis untuk sampai pada tujuan. Hidup keras bersama alam harusnya membentuk setiap karakter anak-cucu saat ini.  Walaupun tak memiliki kompas, para leluhur punya cara sendiri untuk menakluk laut dan gunung. Oleh karenanya, darah pantang menyerah harusnya mengalir pada anak-cucunya saat ini"

Untukmu...

Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...