Jumat, 26 Juni 2020
"Bung Karno dan Geopolitik Asia Pasifik : Menakar Dinamika Laut China Selatan"
Sabtu, 20 Juni 2020
Islam dan Andalusia
BincangSyariah.Com – Setelah pertikaian antara pemimpin Badajoz dengan Sevilla mereda akibat diredam oleh pimpinan dari Bani Juhur yang menguasai Cordoba, timbul lagi pertikaian antara Sevilla dengan Granada.
Pertikaian terjadi selain karena ambisi untuk merebut wilayah, juga sikap rasis yang lahir dari konflik kedua belah pihak. Pimpinan Granada dan keturunannya merupakan keturunan suku Barbar. Sedangkan pimpinan Sevilla dan keluarganya merupakan keturunan bangsa Arab asli. Sikap rasis acapkali menimbulkan perasaan paling baik, benar dan ingin menjadi dominan.
Bani Zairi yang memiliki Dinasti di Granada memiliki ambisi untuk menandingi keunggulan Dinasti Bani Abbad di Sevilla selama bertahun-tahun. Bani Abbad memiliki keunggulan di kekuatan militer dan sastra. Sedangkan Bani Zairi unggul dalam bidang militer saja. Bani Abbad selaku keturunan Arab asli selalu memiliki ambisi melawan orang-orang yang berusaha untuk mnyingkirkan suku Barbar, di Andalusia. Akibat ambisinya timbullah peperangan dangan Bani Abbad pemilik Sevilla.
Pertempuran keduanya berawal dari Ibnu Abbad, pimpinan Sevilla yang hendak merebut Cormona, Istiga dan Sodania dari al-Barzali. Al-Barzali lalu mengirim surat kepada Idris al-Mutaayyad al-Hamudy (pimpinan wilayah Malaga) dan suku-suku Sonhajah yang masih bagian dari Suku Barbar. Ia memohon agar Idris mengirim tentara bantuan yang dipimpin oleh Ibn Baqonnah Ahmad bin Musa untuk menyerang pasukan Ibnu Abbad. Begitu juga Badis bin Habus, pemimpin Dinasti Bani Zairi yang berasal dari suku Barbar membantu untuk melawan pasukan Dinasti Bani Abbad yang dipimpin oleh Ismail bin Abbad. Peperangan berakhir dengan terbunuhnya Ismail, kepalanya dipenggal dan diserahkan kepada Idris.
Permusuhan antara Sevilla dengan Granada ditandai dengan persaingan yang sengit dalam pemerintahan terutama perluasan wilayah. Konflik makin meruncing saat al-Mu’tadhid bin Abbad menggantikan ayahnya memimpin Sevilla dengan Badis bin Habus dalam merebut Malaga. Padahal di awal pasukan Bani Zairi membantu pimpinan Cormona bersama tentara pasukan Malaga untuk melawan Sevilla. Kini Bani Zairi juga justru ingin merebut kota Malaga. Pada akhirnya kota Malaga berhasil direbut oleh Bani Zairi di bawah pimpinan Badis bin Habus, sedangkan al-Mu’tadhid mendapatkan wilayah Algeciras (1054 M).
Rupanya penduduk Malaga merasa tidak puas dengan kepemimpinan Badis yang merupakan keturunan suku Barbar. Mereka secara diam-diam mengutus al-Mu’tadhid untuk menaklukkan Malaga dari kepemimpinan Badis. Ini menjadi angin segar bagi al-Mu’tadhid untuk kembali berjuang merebut wilayah Malaga. Namun Badis lebih cepat tanggap dalam menangani kedatangan musuhnya. Terjadi perang di antara kedua pasukan lalu karena pasukan di bawah kepemimpinan Badis lebih kuat, al-Mutamid melarikan diri bersama Ibnu Abbad al-Jabir ke kota Ronda.
Pada tahun 1069 M al-Mu’tadhid wafat, lalu kepemimpinan diganti al-Mu’tamid, putranya yang bahkan lebih berambisi. Ia hendak meneruskan perjuangan ayahnya untuk merebut kota Malaga. Ia mengirim utusan ke Malaga untuk mengintai kepemimpinan Bani Zairi. Pengintai melaporkan secara berkala tentang keadaan kota Malaga.
Tapi Badis memiliki strategi kepemimpinan yang khas. Ia memiliki kekuatan di bidang militer dan politik untuk melawan musuh-musuhnya dan mempertahankan kekuasannya. Ketika Ibn Ya’qub, utusan al-Mu’tadhidh menyerang kota Ronda yang merupakan suku Barbar, Badis merasa tergerak untuk melakukan serangan balik. Akibat penyerangan yang terjadi di kota Ronda, ia berambisi untuk memusnahkan penduduk berkebangsaan Arab atau keturunan Arab di Andalusia.
Badis mengerahkan tentaranya dan berencana melakukan penyerangan di masjid. Meski ia telah diperingati oleh Yusuf bin Ismail bin Naghronah, salah satu menteri di pemerintahannya yang beragama Yahudi namun tidak digubris. Penyerangan tetap terjadi tetapi Allah telah menggagalkannya dan Yusuf telah memperingatkan para perempuan untuk tidak datang ke masjid. Konflik yang memuncak ini terjadi bukan hanya perebutan wilayah kekuasaan, tetapi juga akibat sikap rasis dari masing-masing kelompok, yaitu bangsa Arab dan Barbar.
Senin, 08 Juni 2020
Masjid Tertua di Papua
Masjid Tua Patimburak adalah sebuah masjid tua bersejarah yang terletak di Distrik Kokas, Fakfak, Papua Barat. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan sejarah Islam di Papua dan menjadi salah satu pusat agama Islam di Kabupaten Fakfak. Beberapa literatur sejarah Papua menyebutkan bahwa di tempat inilah awal pertama peradaban Papua dimulai dengan masuknya Islam di Kabupaten Fakfak, Papua barat dengan dibangunnya Masjid tua Patimburak. Manuskrip-manuskrip kuno di Jazirah onin menyebutkan bahwa agama Islam masuk di Kabupaten Fakfak Papua barat pada tahun 1606 melalui proses penyebarluasan kekuasaan Sultan Bacan dari Tidore, hingga pengaruhnya tersebut maka tokoh-tokoh masyarakat di Fakfak langsung memeluk agama Islam meskipun saat itu kondisi masyarakat pedalaman masih menganut kepercayaan animisme, tetapi khususnya rakyat pesisir Fakfak sudah menganut agama Islam. [1]
Masjid Tua Patimburak | |
---|---|
Masjid Tua Patimburak | |
Informasi umum | |
Letak | Fakfak, Papua Barat, Indonesia |
Afiliasi agama | Islam |
Deskripsi arsitektur | |
Jenis arsitektur | Masjid |
Rampung | 1870 |
SejarahSunting
Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut catatan sejarah, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan merupakan masjid tertua di Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan berfungsi hingga saat ini dibangun pada tahun 1870, seorang imam bernama Abuhari Kilian.
Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah diterjang bom tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.
Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di Kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV, Kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi sedikit agama Islam mulai berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore termasuk Kokas.
Kondisi MasjidSunting
Aura tradisional muncul saat menyambangi lokasi masjid tua ini. Di kampung yang dihuni tak lebih dari 35 kepala keluarga tersebut didapati suasana kesederhanaan yang menyatu dari bangunan masjid dan kehidupan masyarakatnya.
Sekilas bangunan masjid seluas tidak lebih dari 100 meter persegi ini tampak biasa. Namun coba perhatikan lebih saksama. Masjid ini memiliki keunikan pada arsitekturnya, yaitu perpaduan bentuk masjid dan gereja. Musa Heremba, imam Masjid Patimburak mengaku bangunan masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Meski mempertahankan bentuk aslinya, namun material asli yang belum diganti adalah empat buah pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid.
Di pelataran masjid, sebuah pohon mangga kokoh berdiri. Namun, bukan sembarang pohon mangga. Dari ukuran batangnya, bisa dipastikan usia pohon raksasa ini tak terpaut jauh dengan usia masjid. Syahdan, perlu empat rentang tangan orang dewasa untuk merengkuh keseluruhan batang pohon ini.
Masjid Patimburak memiliki arsitektur yang dipengaruhi arsitektur Belanda dan Jawa yang sangat kental, hal ini dapat dilihat pada kubah masjid yang menyerupai model atap gereja-gereja di Eropa, ventilasi masjid juga berbentuk lingkaran, dan kayu di dinding masjid seperti bangunan kolonial. Di dalam masjid juga terdapat empat buah tiang penyangga yang diprediksikan telah berusia lebih dari satu abad yang tentunya tidak terlepas dari pengaruh ajaran Islam. Adapun bangunan yang khas berbetuk segi enam melambangkan rukun iman dalam kepercayaan Islam sebagai pondasi dalam beragama, sedangkan atas kubahnya berbentuk segi delapan yang melambangkan delapan arah mata angin, dimana mata angin barat ditandai dengan mihrab sebagai kiblat salat dalam ajaran agama Islam.[2]
Masjid Patimburak di Distrik Kokas Kabupaten Fakfak ini juga dibangun oleh masyarakat setempat secara gotong royong, masjid ini selain mendapat julukan masid tertua di tanah Papua juga menjadi wujud filosofi "Satu tungku tiga batu" yang merupakan sebuah konsep toleransi antar umat beragama di Kabupaten Fakfak Papua barat. Adapun filosofi tiga batu menjadi lambang tiga agama besar di Kabupaten Fakfak yang hidup berdampingan yakni, Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Ketiga batu tersebut menjadi tungku dan diletakkan secara melingkar dan berjarak. Ketiganya harus seimbang untuk menopang kehidupan dalam keluarga yang diibaratkan sebuah periuk.
AksesibilitasSunting
Untuk mencapai Masjid Tua Patimburak, sebelumnya harus menempuh perjalanan darat dari Fakfak ke Kokas. Tersedia angkutan luar kota dari terminal kota Fakfak. Selama 2 jam anda akan menyusur jalan berkelok dan segarnya udara pegunungan. Tiba di kota Kokas, perjalanan menuju Kampung Patimburak harus dilanjutkan menggunakan longboat sewaan.
Pemandangan selama 1 jam mengendarai long boat.Jika menggunakan long boat, pengunjung yang ingin menuju Masjid Tua Patimburak bisa menikmati keindahan pulau-pulau karang yang masih perawan di sepanjang perjalanan[3].
ReferensiSunting
- ^ Sobirin, Nanang (07/07/2017). "Melihat Sejarah Islam di Tanah Papua". Sindo News. Diakses tanggal 27/02/2020.
- ^ Baru, Ini (24/09/2018). "Masjid Patimburak, Masjid Dari Tanah Papua yang Mengajarkan Toleransi". Ini Baru Islamepedia. Diakses tanggal 27/02/2020.
- ^ Sejarah awal Islam di Maluku dan Papua
Kamis, 04 Juni 2020
Harun Masiku dan Teror Demokrasi
Rabu, 03 Juni 2020
Persaingan diera milenial
Untukmu...
Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...
-
Zabulon Simintov, seorang Yahudi terakhir yang diketahui di Afghanistan, telah berubah pikiran dengan mengatakan bahwa dia tidak ingin pergi...
-
Antara Hutan, Sawit, Lahan, dan Duka Kalimantan Berduka. *****/*******//////****** Pada masa lalu hutan Kalimantan digerus o...