Sabtu, 04 September 2021

Sagu

Sagu
(hasil jepret dari Patimburak, muara menuju kabubur,  ubadari dan kayuni) 

***

Kekayaan narasi dan budaya sagu di papua menandai posisi penting tumbuhan ini sejak lama.  Sagu awalnya tidak hanya dikonsumsi orang papua,  tetapi juga masyarakat di berbagai tempat lain di Indonesia. 

Seperti diketahui bersama,  leluhur papua secara turun-temurun sudah mengonsumsi sagu dan ubi-ubian sejak lama.  Ketahanan fisik yang kuat terbukti dari bagaimana para leluhur bekerja dan mencari makan.  

Di Papua,  sagu bisa diolah menjadi beragam jenis kuliner khas daerah.  Tiap-tiap suku memiliki teknik dan cara masing-masing,  walaupun yang paling populer adalah papeda.  

Di Fakfak misalnya, sagu di olah menjadi beberapa kuliner khas daerah,  sebut saja danakusurian,  ampas sagu (sakar api), singgoli,  Sagu lempeng, dana kakain (olahan khas ini di bungkus pake daun sagu), dan tentu yang paling populer Papeda Ikan Kuah kuning. 

Dalam Buku "Sagu Papua untuk Dunia" karya Ahmad Arif menyatakan bahwa kerentanan pangan Indonesia boleh dibilang karena kurangnya pengetahuan dibandingkan kurangnya pangan.  Maka,  merujuk pada pandangan Soekarno, sudah saatnya kita menempuh kebijakan pangan yang berperspektif Nusantara.  

ini berarti tanaman lokal yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat mendapat prioritas. Salah satunya sagu.  Sagu seharusnya bisa mengatasi kebutuhan pangan di papua,  bahkan di seluruh Indonesia. Kuncinya adalah kembali pada konsep keberagaman pangan.  

Dengan keberagaman pangan,  pemerintah sudah tidak perlu lagi Impor beras. Pemerintah sudah tidak perlu lagi membuka hutan ratusan atau bahkan ribuan hektar seperti di merauke untuk menanam padi.  

Sekalipun demikian,  persoalan pangan memang bukan hanya soal kebijakan. Pangan juga soal selera masyarakat yang telah berubah.  Selain menjadi candu beras,  kini mie Instan telah menjajah meja makan kita.  

Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kebijakan impor nasional kita.  Kurangnya stok beras,  dan tidak jelas iklim dan hasil panen padi, membuat pemerintah terpaksa untuk impor beras dari negara tetangga seperti vietnam,  Filipin,  dan kamboja.  

Saya tidak ingin menyimpulkan bahwa sagu menjadi satu-satunya solusi bagi seluruh tantangan pangan ke depan.  Namun, argumen yang hendak kita bangun adalah bahwa ketersediaan sagu melimpah di alam papua. 

Harapannya kedepan tumbuhan ini bisa lebih di hargai lagi,  terutama untuk mengubah kebijakan pangan nasional yang selama ini lebih identik dengan beras.  

Oleh :
Ismail Weripang 

Untukmu...

Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...