Rabu, 06 Juli 2022

Hilang

Hilang


Dia yang tahu dia yang berbicara. Pada sebuah perpisahan, menyisakan rindu dalam pertemuan.

"Aku pergi, dik!!"
"Jangan lama bang, sebelum lamaran orang lain datang"
"Iya, aku paham, Aku pergi ya, Assalamualaikum"
"Walaikumsalam"

Setiap pagi setiap jiwa ingin memperbaiki hidupnya, termasuk aku. Aku ingin kembali dingin, setelah mendengar kabar bahwa kau telah bertunangan.

Kutelusuri setiap pelosok kehidupan, menyantap setiap budaya, dan aku berfikir jangan terlalu jauh berekspektasi tinggi tentang seseorang.

Kita adalah perbedaan yang menolak berpisah. Kita sama-sama mendobrak pintu rindu, menantang alam semesta.

Tidak, aku pergi dan menghilang. Hidupku menantang maut tiap hari. Saat kecil, kita tersenyum tanpa alasan, namun ketika dewasa kita berusaha tersenyum dengan menyembunyikan berbagai alasan.

Seseorang sengaja mundur, bisa jadi ia melibatkan Tuhan dan takdir. Namun menyerah bukanlah suatu pilihan. Hubungan kita tanpa ikatan, tanpa ada kata jadian, namun perpisahan membuat kita sulit saling melupakan

 
Mungkin karena rindu, mungkin juga karena kenangan, ataukah aku yang berjiwa bebas!!! Yang ingin pergi dan tak mau menjalin asmara.  Daerah timur, membuatku bersyukur atas kehidupan. Anak-anak bertelanjang kaki bermain bola di ujung pasir dekat pantai. ketawa riang, tersenyum, seakan-akan mereka bersekutu dengan senja. Kokona tujuanku sebelum pergi ke Nduga. Bibir pantai di kokonao, menjadi tempat inspirasi untuk menikmati hari.


Kokonao sekarang, Jelas berbeda dengan Kampung Kokonao zaman dulu di Kabupaten Mimika, Kampung Kokonao merupakan salah satu dari tujuh kampung yang berada di Distrik Mimika Barat, Kabupaten Mimika, Papua.

Adapun tujuh kampung ini adalah Kampung Aparuka, Apuri, Atapo, Kiura, Migiwia, Mimika, dan Kokonao.
Kokonao dikenal sebagai salah satu kota tua di Papua. Sebelum adanya ibu kota Mimika, Kokonao lebih dulu terkenal.

Bahkan, Kokonao dikenal sebagai salah satu pusat peradaban pendidikan di tanah Papua. Sejak 1927, Kokonao dikenal sebagai pusat perwakilan pemerintahan Belanda, pusat perkabaran Injil melalui misi Katolik, dan pusat pendidikan formal.


Camera Canonku menangkap gambar anak-anak yang bermain dibibir pantai kokona, dan aku suka melihat detail kehidupan.

"Ridho, ko sendirian disini?"
"Iya, lucu saja lihat anak-anak ini bermain dan  tersenyum tanpa beban"
"Hmm... Berhentilah jika ko lelah, namun jangan pernah ko menyerah pada kehidupan"
"Makasih dit,!!"
"Iya sama-sama"

Reydit tramo, pria berkulit hitam menjadi mualaf pada akhir tahun 2015, saat itu, usianya masih remaja.

Kami berdua duduk bersampingan dibibir pantai kokona sambil  menatap senja, hingga waktu shalat magrib tiba.

"Shalat yuk!!!"
"Oke, kita pergi untuk menjemput kemenangan"
"Baiklah bro, asalkan jangan ko galau terus"
"Sa tidak pernah galau, diamku, adalah cara terbaik untuk bertengkar dengan diriku, agar tidak bertindak diluar logika"
"Wow... Beginilah cara orang introvert sepertimu menghabiskan waktu, sa salut denganmu Do, ko hebat"
"Ah sudahlah, jangan berlebihan, buruan kita shalat"

Aku mulai berfikir, semua orang layak dicintai, siapapun dia, apapun agama dan latar belakang kehidupannya. Namun musuh dalam selimut wajib di waspadai. Terkadang, beberapa anak manusia bertindak di luar nalar.

Kutelusuri Indonesia timur dengan berbagai budayanya, menghilang dari media sosial, dan kini aku pergi ke kabupaten Nduga.

Dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Jayawijaya. Bentang alam Kabupaten Nduga berada di keseimbangan Lembah Baliem, sebuah lembah aluvial yang terbentang pada ketinggian  1500–2000 m di atas permukaan laut. Suhu udara bervariasi antara 14,5 derajat Celcius sampai dengan 24,5 derajat Celcius.

Pinus Kogeya mengatakan padaku, dalam budaya masyarakat Nduga, ketika terjadi perang mereka tidak boleh makan, makanan dari pihak yang dianggap lawan.

Ada kepercayaan dikalangan masyarakat Nduga, jika pantangan itu dilanggar mereka akan mendapat musibah yang lebih besar.

“Selama ini, mereka yang menolak bantuan hanya bertahan hidup dengan makan keladi atau ubi jalar yang mereka tanam. Itupun hanya dibuat atau dibangun,” ujarnya.

Wow... Suatu keyakinan yang prinsipil. Bagaimana dengan kita? Yang merasa hidup dari hasil yang tidak halal? Apakah kita tidak punya prinsip untuk menolak barang yang tidak halal?

Makin jauh aku melangkah, makin banyak yang harus aku tahu. Secara perlahan, aku hilang dan menelusuri beberapa daerah dipedalaman Papua, tanpa sinyal, aku menemukan banyak inspirasi dari kehidupan. Hingga pada suatu titik, Mama menelpon,

"Halo ma, sa masih di Nduga, bulan depan baru balik"
"Cepat ya, mama tunggu, sudah tiga tahun dan tiga kali lebaran ko tidak sama-sama dengan mama"
"Iya ma, Insyaallah Rido pulang, Assalamualaikum"

Aku menutup telepon,  bagaikan anak hilang yang tak tahu diri. Pergi dan jarang pulang ke rumah dan kampung halaman.

Mama, satu kata yang kurindu, Tak pernah kuharap kau cepat tua dan renta, Tak pernah ku ingin kau lelah dalam usia, Selalu kuharapkan kau terus bersamaku, Dengan cinta, kau berikan petuahmu.

Setelah aku mengililingi beberapa daerah di Papua, aku pulang dengan sejuta Rindu. Rindu pada orang-orang yang tak ingin aku pergi, Rindu pada sahabat yang aku numpang tidur dirumahnya, rindu Pada anak-anak yang meneteskan air mata saat aku pergi, mereka semua adalah kisah yang sulit kulupakan. 


Mama, anakmu yang hilang kini pulang,  untukmu, mama, aku melepas rindu....

Oleh
Ismail Weripang

Untukmu...

Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...