Minggu, 03 Juli 2022

Nafas diujung tanduk

Nafas diujung tanduk



Sepih dan rapuh aku patah bagaikan tangkai kering meninggalkan batang pohon tua. Pilu nafasku tersengal-sengal diwaktu pagi ketika tubuh ini dipaksa untuk joging. 

Rumah gubuk itu, meninggalkan Kisah yang ingin kusampaikan.  Kabut diwaktu pagi menghalangi pandangan, suara burung dan binatang buas dimana-mana, kiranya hutan disini masih perawan. Tidak!!! Kini mulai tergerus oleh masyarakat nomaden, yang mulai berdatangan dari luar daerah. 

Buku-bukuku menumpuk, aku sudah tidak lagi aktif di media sosial, tapi beruntungnya masih ada buku yang bisa kubawa pulang. Kini setelah tamat kuliah aku memilih untuk mengasingkan diri di hutan. tempat dimana aku lahir. 

Orang-orang terdekat bertanya-tanya, bagaimana masa depanmu? Apa tujuanmu? Dimana kamu bekerja sekarang? Aku diam, kubalas mereka dengan senyum. Terkadang yang ada dikepala kita setelah lulus kuliah adalah mau  kerja dimana, nyari uang dimana, kita kaget terhadap realitas hidup. Tanpa pernah berfikir mengapa kita dikirim ke muka bumi ini. 

Hari ini, jika ditanya apa tujuanku, apa cita-citaku,  jawabanku cukup sederhana "bersyukur dan bahagia".

Dan soal pemerintahan apakah kita benar-benar mengerti apa dan mengapa Negara ini merdeka? Apakah saya harus ikut bermain dalam sistem yang korup ini? 

Pemerintahan yang kuat mencerminkan konsep Trisakti Bung Karno; Kedaulatan Politik, kemandirian Ekonomi, dan daya Tahan kultural. Kedaulatan politik terkait dengan penguasaan dan manfaat SDA berhadapan korporasi. kemandirian Ekonomi terkait dengan kedaulatan dan daya tahan energi untuk kesejahteraan rakyat. Sementara itu, dari aspek budaya, Indonesia harus beralih dari budaya liberalisasi yang cenderung tunduk pada aturan lembaga multilateral menuju bangsa  yang berkepribadian. 

"Sok idealisme, bilang saja tidak punya nyali untuk terjun". Benar, kamu benar. Ibarat kangkung yang tumbuh subur, di buang dalam minyak panas lalu ia layu bagaikan tangkai yang tak berpendirian.  Begitulah seterusnya, seperti apa yang di katakan prof Mahmud MD, "mereka yang hari berteriak lantang karena belum punya kesempatan untuk mendapatkan bagiannya"

Saya tidak pernah menyalahkan oknumnya, tetapi kesalahan itu berawal dari sistemnya. Ah... Terlalu jauh saya berfikir, hanya untuk yang halal, saya mencoba untuk keluar dari sistem. Ya sudahlah, kini nafas diujung tanduk. Mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat nanti kita akan tenggelam dalam kubangan lumpur ini. Paling tidak, percikannya, menodai baju putih Kebanggaan kita yang bernama "IDEALISME". 

inilah dunia Aktivis, seperti Nafas di Ujung tanduk. Mundur salah, maju salah, dan kita berada ditengah-tengah untuk keseimbangan pesawat yang bernama Indonesia, agar tidak jatuh terkapar seperti Sukhoi yang menabrak gunung salak. 

Dan tugas politik yang menyedihkan adalah menegakkan demokrasi di dunia yang penuh dosa. Menutup telinga pada suara mayoritas, membuka telinga untuk kepentingan segelintir orang. 

Kini Nafasku diujung tanduk, seperti keseharianku joging di lembah hutan pegunungan Mbaham,  membantu ayah berkebun, mencari kayu bakar dihutan, berburu ikan gabus disungai, dan memancing ikan dilaut. Seperti apa yang dikatakan aktivis senior terdahulu, "So Hok Gie", dengan kalimatnya yang populer "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". 

Kita belum benar-benar merdeka jika nafas masih diujung tanduk,  Negara menjadi lembek (soft state), karena di pengaruhi kepentingan oligarki.

Akibatnya, pemimpin terpilih tidak kreatif merancang kebijakan publik dan tidak bisa berbuat banyak menata lembaga hukum dan birokrasi pusat - daerah. Oligarki mampu mengontrol gubernur, bupati, walikota di tingkat lokal untuk mendapat konsensi.

Otonomi daerah kemudian menjadi lahan empuk pertarungan modal merebut SDA. Rakyat termarginalkan, karena pusat kehidupan warga lokal, yakni lahan pertanian dan hutan lindung, disabotase untuk pertambangan. 

Kini tak berdaya, jogingku berakhir, nafasku diujung tanduk berakhir, terkapar diatas lantai papan tak beralas, asalkan para pemimpin ada kemauan untuk optimis, saya yakin, bangsa ini tidak mengemis. 

Ismail Weripang

27 Juni 2022

Untukmu...

Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...