Selasa, 19 Juli 2022

Rintihan yang tak berkesudahan

"Rintihan Yang Tak Berkesudahan"

Ada sesuatu yang terasa hampa saat langit semakin menua. ada  yang terasa berbeda saat  hujan tertahan diantara mega.  

Mobil Avanza putih parkir didepan toko buku, aku turun dari mobil dengan dua saudara sepupuku, Rachman dan Siti. Kami bertiga menuju toko buku dengan tujuan mencari buku. setelah senja beranjak pergi Di penghujung hari, Dan hati ini tak berhenti bernyanyi, kami bertiga pulang disaat jalan mulai sepi. 

Kutelusuri malam yang sunyi, diantara kendaraan yang mulai menepi, dan hati yang mulai bertanya-tanya ada apa ini? Kelam, hujan mengguyur kota ini. Suara rintihan minta pertolongan dimana-mana. Kilat dan Guntur memecahkan langit-langit, bagaikan dua pasangan kekasih yang lagi marah. 

"Ada apa ini?"
"Macet, Siti,"
"Iya tapi macet apa?" 

Mobil kami terjebak diantara macet yang panjang.

"Sepertinya banjir didepan sana" 
"Iya, kayaknya seperti itu"

Benar saja, banyak mobil yang sudah terjebak oleh arus banjir yang kini mengalir bersama bebatuan dan lumpur. 

"Kamu harus turun Madi, bantu warga biar mobil kita bisa cepat lolos" 
"Oke bro, sudah pasti itu"

Kubuka jaket hitamku, ditengah bisingnya suara klakson mobil dan banyak warga dan penumpang yang memilih berteduh, aku bersama para relawan lainnya bahu-membahu meloloskan kendaraan roda dua dan roda empat. Tibalah saatnya mobil kami. 

"Satu... Dua... Tiga....dorong...." Walaupun banyak material seperti lumpur dan bebatuan, Rachman dengan lihai meloloskan mobil ke seberang jalan. Anak muda ini memang telah berbakat mengemudi.

Kami bertiga pulang dengan hati yang lega, tapi disisi lain ada rasa cemas akibat curah hujan yang tinggi mengguyur kota ini. 

"Wow... Ada anak kecil yang hilang terbawa arus banjir" siti memecahkan keheningan kami, setelah ia membuka media sosial. 
"Oh ya, dimana" tanya Rachman
"Dijalan mawar, komplek ini sudah terjebak banjir, dan rumah warga tenggelam. Kini satu-satunya cara Mereke bertahan hidup dengan cara memanjat ke atap rumah" wajah Siti serius, bahkan dia terlihat sangat sedih karena kondisi warga yang menjadi korban bencana alam ini. 

Pagi tiba, mobil ambulance mondar-mandir dengan panik membawa korban, ada yang luka-luka, ada yang tertimbun lumpur dan bebatuan, bahkan ada yang meninggal terbawa banjir dan tertutup timbunan lumpur. suasana kota semakin kacau, orang-orang berlarian kesana-kemari.  Aku terlibat dalam gerakan relawan, membantu meringankan beban korban bencana banjir adalah tugas setiap individu yang selamat, yang merasa bahwa dia hidup tidak sendirian, melainkan sebagai makhluk sosial. 

Rintihan yang tak berkesudahan, menerjang kota Jayapura terkhususnya Sentani. Air danau meluap, warga yang rumahnya berada di dekat pesisir danau tenggelam. Banyak posko-posko pengungsian yang dibangun oleh pemerintah dan  para relawan. Aparat keamanan, TNI/POLRI, dan para tenaga medis saling tolong-menolong membantu para korban yang selamat. 

Aku berfikir, Terkadang Kelahiran dan kematian menjadi perjalanan yang sangat singkat. Apa yang harus kita lakukan ketika tidak menyukai sesuatu adalah dengan kesadaran mengubahnya. Jika tidak dapat mengubahnya, ubahlah cara kita  memikirkannya. Jangan mengeluh. 

Rintihan ini tak berkesudahan, masih terus berlanjut. Pasca bencana banjir yang menewaskan ratusan orang di Sentani; apakah Rintihan ini telah berakhir? Tidak!! Belum berakhir. 
Bagi masyarakat Kamoro dan Amungme, sejarah Freeport adalah sejarah penindasan. Berbagai kekejaman dan pelanggaran HAM disana. Banyak warga yang jatuh miskin, penyakitan, busung lapar di Asmat, dan berbagai pemberontakan yang mengatasnamakan kebebasan dan kemanusiaan. 

Rintihan yang tak berkesudahan, menjadi momok menakutkan dan makanan sehari-hari warga Papua. Ribuan pengungsi di pegunungan yang tak mungkin diliput oleh media akibat kontak senjata. Sungguh miris melihat bagaimana cara pemimpin-pemimpin di negeri ini menyelesaikan persoalan-persoalan sosial-ekonomi dan politik. 


"Hey, ko melamun apa?"
Suara Edo memecahkan lamunanku. Kapal yang kutumpangi terus berlayar gagah memecahkan gelombang. Angin kencang, mengingatkanku pada peristiwa-peristiwa kelam. Aku sedang berada di bagian dek 6 kapal.

"Ah... Kamu Do, sa hanya ingin sendiri" jawabku...
"Hahaha... Kau galau karena perempuan?" 

Aku membalas senyum Edo dengan candaannya, dan  berlalu pergi. 
"Hey tunggu, tunggu...mau kemana woi"
"Kau tahu Do, tidak semua hal didunia ini tentang perempuan, walaupun semuanya membutuhkan perempuan"
"Iya aku tahu itu, tapi aku penasaran dengan cara kamu melamun tadi, coba ceritakan Madi" 

Sambil berjalan menulusuri dek 6 kapal, aku mulai bercerita tanpa menengok ke Edo. 

"Rintihan ini tak berkesudahan Edo, kau pasti tahu banjir bandang di Sentani, berbagai pelanggaran HAM di Papua, busung lapar di Asmat, dan berbagai peristiwa kelam yang lainnya, itulah yang membuatku terus berpikir dan melamun" 

"Wow...aku bisa membaca orang-orang sepertimu Madi, tapi tunggu, akan ku kenalkan kau dengan seseorang, dia sama sepertimu" 
"Siapa?" 
"Tunggu sebentar ya, saya panggilkan dia" 

Aku menunggu Edo di Cafetaria  kapal, sambil memesan ABC Moca, aku duduk sambil membaca buku. Angin sepoi-sepoi perlahan-lahan menambah kesejukan di cafetaria kapal. Tak lama kemudian, seseorang datang menghampiriku. 

"Hey... Sa nama Odri" sahut pemuda itu. ia mengenakan setelan kaos hitam, celana jeans yang telah sobek di bagian kedua lututnya, giginya merah pinang serta rambutnya yang gimbal. Aku membalas jabat tangannya. 

"Madi" jawabku singkat. 
"Sa tahu ko dari Edo,"
"Edo, dimana dia" 
"Mungkin lagi pergi BAB" 
"HAHAHA"... Suasana mulai cair, kami berdua mulai ngobrol panjang lebar. Odri adalah pria asli Merauke, marganya Mahuse. Odri bercerita, dia diam-diam kabur dari kampung halamannya hanya untuk pergi merantau ke Jayapura, walaupun dalam keadaan keterbatasan biaya, dia mampu menyelesaikan kuliah S1  di salah satu universitas di Jayapura. 

Tidak cukup sampai disitu, ia adalah seorang aktivis, terlibat dalam beberapa aksi masa. ia bercerita banyak tentang kampung halamannya, korporasi raksasa  mulai deforestasi hutan lindung. Sawit dan padi mulai menjadi komoditas utama disana, dan makanan pokok orang asli Papua seperti  Sagu, mulai diasingkan. 

"Aduh... Aduh... Dua orang akvis mulai berbagi" hahaha...
Edo menghampiri kami berdua, dari cerita Odri, aku tahu mengapa ia pergi dari kampung halamannya. Namun si Edo selalu mencairkan suasana dengan candaannya yang terdengar Garing. 

Yang jelas, Rintihan yang  tak berkesudahan menjadi cerita yang terus berepisode. Terus berlanjut hingga benar-benar menumui pemimpin yang berhasil menamatkan cerita ini.

Aku berfikir,  Ada tempat untukmu, selalu tiada bersalju. Kau dan aku hilang Bersama seribu jingga. seperti suara-suara rintihan yang tak berkesudahan.Apa yang harus Anda lakukan ketika Anda tidak menyukai sesuatu adalah mengubahnya.

Terkadang Jiwa akan lebih tangguh dengan memaparkannya pada kesulitan.Apa yang paling kita takuti biasanya  yang paling perlu kita lakukan. Kita tinggal diatas tanah emas, batu emas, kayu emas, tetapi kita cemas. Akibatnya; "Rintihan yang Tak Berkesudahan" 

Oleh 
Ismail Weripang

Untukmu...

Untukmu... Hati kita buatan Tuhan, bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulang kali, dan bisa betul berulang kali tanpa perlu dibaw...